Selasa, 15 Februari 2011

KEHARUSAN MENJAGA TALI HUBUNGAN NASAB KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW.

Dalam menjaga kesinambungan kekhususan tali kefamilian dari keturunan Rasulullah SAW., bagi lelakinya (sayyid/syarif) tidaklah begitu bermasalah, karena nasab7) anak-anaknya akan bertalian kepadanya, ke kakeknya dan seterusnya hingga sampai ke Sayyidina Husein atau Sayyidina Hasan radhiyallahu'anhuma. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa mereka berdua adalah anak kesayangan dari Sayyidatina Fathimah Az-Zahra' radhiyallahu'anha yang bernasab kepada baginda Rasulullah SAW., sedangkan ayah mereka berdua adalah Al-Imam 'Ali karromallahu wajhah suami dari Sayyidah Fathimah Az-Zahra'.

Nah...! yang menjadi masalah adalah: Bagaimana dengan kaum wanita (sayyidah/syarifah) dari keturunan Rasulullah SAW., bila mereka menikah dengan seorang lelaki ….?

Tentu, sebagai jawaban adalah tergantung pada ayah dari anak-anak hasil perkawinan mereka (kepada suami yang telah menjadi jodoh sayyidah atau syarifah tersebut). Oleh karenanya suami mereka itu haruslah yang sekufu (sebanding/sederajat dalam hal nasab dengan mereka), sebagai penerapan kafa'ah dalam penjodohannya. Hal ini adalah merupakan hak dan kewajiban bagi kaum wanita keturunan Rasulullah SAW., serta wali-walinya dalam usaha menjaga nasab yang berhubungan dengan Beliau SAW.

Untuk menjodohkan atau menikahkan antara seorang pria dengan wanita bukanlah sekedar rasa cinta antara dua jenis saja yang dititik-beratkan, akan tetapi cinta itu tumbuh karena diawali dengan cinta terhadap keridhoan Allah SWT dan Rasul-Nya. Yakni tidak menyalahi, mengganggu atau melanggar perintah dan larangan Allah SWT., apalagi bermaksiat atau mengkhianati wasiat yang diamanatkan bagi semua manusia. Jalinan cinta yang tumbuh antara dua insan atas dasar ikhlas dan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta bertaqwa, akan tumbuh rasa cinta yang sejati. Cinta dan benci karena Allah SWT akan menjadi tali pengikat keimanan dan merupakan seutama-utamanya amal.

Rasulullah SAW bersabda :

"Amal yang sangat utama adalah cinta dan benci karena Allah SWT". (HR. Abu Daud dari Abu Dzar).

Kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT., akan dijadikannya sebagai motor dan indikator dalam mereaksikan cintanya kepada yang selain Allah SWT.

Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW.

"Cintailah Allah SWT karena Ia selalu memberi kamu nikmat- nikmat-Nya. Dan cintailah aku (Nabi SAW) karena cintamu kepada Allah SWT dan cintailah keluargaku karena cintamu kepadaku." (HR. Turdmudzi dari Ibnu 'Abbas).

Dan masih banyak lagi hadits-hadits Nabi SAW yang menerangkan perlu dan wajib bagi ummatnya mencintai Rasulullah SAW dan Ahlul-Baitnya sebagai tanda cinta mereka kepada Allah SWT.

Cinta seorang lelaki "Akhwal" (lelaki yang tidak bersambung nasab kepada Rasulullah SAW) terhadap keturunan Ahlul Bait Nabi SAW., mestinya bukan ditunjukkan dengan cara menikahi wanita Ahlul Bait tersebut, apalagi dengan alasan bahwa ia mencintai dan sengaja memilih menikahi mereka karena menjalani perintah Rasulullah SAW seperti sabda Beliau :

"Hendaklah menikahi wanita yang baik nasabnya "atau "Dinikahi wanita karena nasabnya…." Dan lain-lainnya.

Sungguh! bukan begini sebenarnya cara menampakkan cinta dan ta'at kepada baginda Rasulullah SAW dan Ahlul-Baitnya, sungguh ! sekali lagi bukan. Tidaklah mungkin dapat dikatakan cinta yang sebenarnya atau sesuai dengan apa yang dimaksudkan Nabi SAW., juga sangat keliru kalau yang demikian itu guna melaksanakan wasiat Beliau SAW., dengan melihat dari satu sudut saja suatu hadits atau dapat disebut melihat dengan sebelah mata.

Landasan perkawinan yang demikian sungguh sangat timpang dan pincang. Ini hanya merupakan dorongan hawa nafsu belaka. Bahkan andai dihadapkan pada amanah Nabi SAW., tentu tampak sebagai suatu kesalahan yang disengaja, tidak wajar dan niatan hati yang tidak baik.

Dapat dilihat bahwa ia melaksanakan perintah Nabi SAW., dengan menepis keberadaan hadits-hadits lain, sehingga dalam pijakan hukum tidak dibedakan antara makna keta'atan dengan makna cinta.

Lelaki yang tidak sekufu dengan wanita yang bernasabkan kepada Rasulullah SAW (sayyidah/syarifah), lalu ia menikah dengannya, sama artinya ia tidak memiliki rasa ta'adzdzom (mengagungkan) dan rasa hormat kepada Baginda Nabi SAW. Terhapuslah arti kecintaan kepada Beliau SAW., sebab tindakannya mengganggu, merusak dan memutuskan hubungan nasab syarifah yang ia kawini dengan Nabi SAW., apalagi bila berbuat lebih dari itu seperti menghina, menyakiti, menganiaya dan lain sebagainya, tentu tuntutan Nabi SAW dan hukuman Allah SWT. Segera akan menimpanya.

Pengakuan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya haruslah mematuhi dan mengikuti yang diperintahkan dengan tidak sedikitpun ada niatan atau tindakan yang menyalahi.

Allah SWT., berfirman:

"Katakanlah (hai Muhammad), jika kalian benar-benar mencintai Allah SWT, maka kalian ikutilah aku. Niscaya Allah SWT akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian." (QS. Ali 'Imran: 31).

 * Nasab adalah: Suatu silsilah keturunan/garis keturunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar